SEJARAH MASJID JIN DI MEKAH
Masjid Jin adalah sebuah masjid yang terletak di Kampung Ma’la, tidak jauh dari pekuburan Kota Makkah. Penamaan masjid tersebut dengan Masjid Jin terkait erat dengan suatu peristiwa yang sangat langka dan penting yang berkaitan dengan bangsa jin dan dakwah Islam.
Peristiwa yang dimaksud adalah masuk Islamnya serombongan jin di masjid tersebut setelah mendengar dan menghayati lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada kesempatan itu, para jin berbaiat (berjanji setia) untuk beriman kepada Allah SWT, mengikuti ajaran Islam, dan menyebarkan agama Allah di kalangan mereka.
Oleh sebab itu, masjid ini dikenal juga dengan nama Masjid Al-Bai’ah, yakni masjid tempat serombongan jin melakukan baiat. Peristiwa besar ini diungkapkan oleh Allah SWT dalam Alquran surat Al-Ahqaf ayat 29-32: “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alquran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)!” “Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.
Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Alquran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” “Hai kaum kami terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Dalam suatu riwayat yang dimuat Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi yang berasal dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa peristiwa pertemuan antara Rasulullah SAW dan serombongan jin itu terjadi ketika Rasulullah SAW dan serombongan sahabat sedang dalam perjalanan menuju pasar Ukkadz. Ketika sampai di daerah Tihamah, Rasulullah SAW dan rombongannya berhenti untuk melaksanakan Shalat Fajar. Rupanya, shalat Fajar yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat tersebut mengakibatkan terhalangnya berita-berita langit yang biasa dicuri dengar oleh para syetan (jin yang kafir).
Bahkan, syetan-syetan (jin-jin kafir) yang sedang mencoba mencuri berita tersebut mendapat lemparan bintang- bintang sehingga terpaksa pulang ke tempat kaumnya. Sesampai di tempat kaumnya, syetan-syetan (jin-jin kafir) tersebut ditanya oleh kaumnya, “Apa yang menyebabkan kalian terhalang mendapat berita langit?” Mereka menjawab, “Kami terhalang mendapatkan berita langit, bahkan kami dikejar oleh bintang-bintang.” Kaum syetan menjawab, “Tidak mungkin ada halangan antara kita dengan berita langit. Pasti ini ada sebabnya!” Pimpinan mereka memerintahkan, “Menyebarlah kalian ke barat dan ke timur.
Carilah penghalang tersebut!” Lalu syetan-syetan (jin-jin) tersebut menyebar ke seluruh pelosok jagad mencari penyebab terhalangnya berita langit tersebut. Sebagian di antara mereka sampai ke daerah Tihamah tempat Rasulullah SAW dan para sahabat berhenti. Ketika itu Rasulullah SAW tengah melakukan shalat Subuh. Para jin tersebut mendengar dan memerhatikan dengan seksama bacaan Rasulullah SAW. Kemudian mereka berkata, “Demi Allah, pasti inilah yang menyebabkan kita terhalang dari berita langit.” Mereka sangat kagum terhadap ayat-ayat Alquran yang mereka dengar.
Mereka mengimaninya. Mereka lalu pulang ke kaumnya dan menyampaikan kejadian yang mereka alami. Kaum mereka pun menerima dan mengimani ajaran yang dibawa tersebut. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi turunnya Alquran surat Al-Jin ayat 1. Ayat ini menginfomasikan kepada Nabi Muhammad SAW tentang peristiwa alam gaib yang terjadi di sekeliling Rasulullah SAW dan para sahabat ketika itu. Rasulullah SAW kemudian menyampaikan pemberitahuan Allah SWT tersebut kepada para sahabat dan umat Islam. Dalam surat Al-Jin, Allah SWT memberikan informasi, “Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Alquran), lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman ke padanya.
Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak.” Sejarah Masjid Jin di MakkahKata jin secara kebahasaan mengandung makna ketertutupan atau ketersembunyian.
Para pakar memberikan bermacam-macam definisi tentang jin. Muhammad Farid Wajdi menyatakan jin adalah makhluk yang terbuat dari hawa atau api, berakal, tersembunyi, dapat membentuk diri dengan berbagai bentuk, dan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Sayyid Sabiq mendefinisikan jin dengan sejenis ruh yang berakal, berkehendak, mukallaf (dibebani tugas-tugas oleh Allah) sebagaimana manusia, tetapi mereka tidak berbentuk materi sebagaimana bentuk materi yang dimiliki manusia, yakni luput dari jangkauan indra atau tidak dapat terlihat sebagaimana keadaannya yang sebenarnya atau bentuknya yang sesungguhnya dan mereka mempunyai kemampuan untuk tampil dalam berbagai bentuk. Dalam Alquran ditemukan paling tidak lima kata yang digunakan untuk menunjuk makhluk jin, yaitu jin, jan, jinnat, iblis, dan syaithan. Kata iblis dimasukkan ke dalam kata-kata yang menunjukkan jin karena pada hakikatnya iblis tergolong jenis jin.
Kata syaithan termasuk juga yang menunjuk kepada makna jin karena syaitan itu terdiri dari jin dan manusia. Sedangkan kata khannas merupakan salah satu macam syaitan yang juga terdiri dari manusia dan jin. Jin tercipta dari bahan dasar berupa api, berkembang biak, dan membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Jin diciptakan oleh Allah berpasangan. Ada jin laki-laki atau jantan dan ada pula jin perempuan atau betina. Jin mempunyai keinginan dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual.
Oleh sebab itu, jin juga dapat melahirkan keturunan dan selanjutnya membentuk kelompok atau masyarakat jin. Jin mempunyai beberapa kemampuan yang di antaranya melebihi kemampuan yang dimiliki manusia. Misalnya, jin dapat menjelajahi ruang angkasa dan menyadap berita-berita langit. Jin juga mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan berat.
Di antara tentara dan pekerja Nabi Sulaiman, terdapat golongan jin dan syaitan yang bertugas melakukan beberapa jenis pekerjaan berat, seperti mendirikan bangunan, patung-patung, piring-piring besar, dan menyelami lautan. Pada dasarnya, jin tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat Al-A’raf: 27, “… sesungguhnya ia (syaitan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka…”
Para ulama memandang ayat ini sebagai dalil yang sangat kuat tentang tidak mungkinnya manusia melihat jin. Imam Syafi’i bahkan berkata, “Barangsiapa yang mengaku melihat jin, maka ditolak kesaksiannya, kecuali Nabi.” Rasyid Ridha juga menegaskan, “Barangsiapa yang mengaku melihat jin, maka itu hanya ilusi atau ia melihat binatang aneh yang diduganya jin.”
Ketidakmampuan manusia melihat jin dan kemampuan jin melihat manusia adalah karena berbedanya unsur kejadian manusia dan jin. Manusia adalah makhluk kasar, sedangkan jin adalah makhluk halus. Sesuatu yang halus dapat melihat yang kasar, tidak sebaliknya. Sementara itu ada pula ulama yang menyatakan kemungkinan jin dapat dilihat oleh manusia. Allah dapat saja memberikan kemampuan istimewa kepada orang tertentu, sehingga mampu melihat makhluk halus. Firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 27 di atas tidak menafikan kemampuan melihat jin secara mutlak. Ayat itu hanya mengatakan bahwa manusia tidak dapat melihat jin pada suatu tempat, atau suatu keadaan, atau suatu waktu ketika jin melihat manusia. Namun, selain itu tidak tertutup kemungkinan manusia dapat melihat jin. Ulama lain berpendapat bahwa jin hanya dapat dilihat oleh para nabi atau hanya pada masa kenabian. Ketika itu, Allah mengubah mereka menjadi makhluk kasar. Sekarang tidak bisa lagi.
Kedua pendapat yang terakhir menurut Quraish Shihab terkesan seperti dibuat-buat. Pendapat lain yang agaknya bisa diterima adalah bahwa jin dapat dilihat manusia jika jin berubah mengambil bentuk makhluk yang dapat dilihat manusia. Hal ini tidak terbatas bagi orang atau waktu tertentu, tetapi bisa terjadi pada siapa pun dan kapan- pun jika kondisi memungkinkan.
Dalam hal pembebanan tanggungjawab melaksanakan ajaran-ajaran agama, terdapat kesamaan antara manusia dan jin. Manusia dan jin sama-sama dibebani oleh Allah SWT dengan seperangkat perintah dan larangan yang terangkum dalam ajaran agama yang disampaikan oleh para rasul-Nya. Allah berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Pada surat Al-An’am ayat 130 Allah berfirman, “Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepada terhadap pertemuanmu dengan hari ini?”
Dalam menerima dan menjalankan ajaran agama tersebut, sebagaimana manusia, kalangan jin berbeda-beda sikap. Ada yang beriman, ada pula yang kafir. Ada yang taat, ada pula yang ingkar. Dalam surat Al-Jin ayat 11,13, dan 14 terdapat informasi dari kalangan jin sendiri tentang keadaan jin yang demikian. “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda. Dan sesung-guhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahannam.” Bangsa jin sebagaimana yang dijelaskan di ataslah yang bertemu dengan Rasulullah SAW di kampung Ma’la di dekat daerah Tihamah. Untuk mengabadikan peristiwa unik dan penting tersebut, dibangun sebuah masjid berukuran sedang yang dikenal dengan nama Masjid Jin.
Peristiwa yang dimaksud adalah masuk Islamnya serombongan jin di masjid tersebut setelah mendengar dan menghayati lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada kesempatan itu, para jin berbaiat (berjanji setia) untuk beriman kepada Allah SWT, mengikuti ajaran Islam, dan menyebarkan agama Allah di kalangan mereka.
Oleh sebab itu, masjid ini dikenal juga dengan nama Masjid Al-Bai’ah, yakni masjid tempat serombongan jin melakukan baiat. Peristiwa besar ini diungkapkan oleh Allah SWT dalam Alquran surat Al-Ahqaf ayat 29-32: “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alquran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)!” “Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.
Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Alquran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” “Hai kaum kami terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Dalam suatu riwayat yang dimuat Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi yang berasal dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa peristiwa pertemuan antara Rasulullah SAW dan serombongan jin itu terjadi ketika Rasulullah SAW dan serombongan sahabat sedang dalam perjalanan menuju pasar Ukkadz. Ketika sampai di daerah Tihamah, Rasulullah SAW dan rombongannya berhenti untuk melaksanakan Shalat Fajar. Rupanya, shalat Fajar yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat tersebut mengakibatkan terhalangnya berita-berita langit yang biasa dicuri dengar oleh para syetan (jin yang kafir).
Bahkan, syetan-syetan (jin-jin kafir) yang sedang mencoba mencuri berita tersebut mendapat lemparan bintang- bintang sehingga terpaksa pulang ke tempat kaumnya. Sesampai di tempat kaumnya, syetan-syetan (jin-jin kafir) tersebut ditanya oleh kaumnya, “Apa yang menyebabkan kalian terhalang mendapat berita langit?” Mereka menjawab, “Kami terhalang mendapatkan berita langit, bahkan kami dikejar oleh bintang-bintang.” Kaum syetan menjawab, “Tidak mungkin ada halangan antara kita dengan berita langit. Pasti ini ada sebabnya!” Pimpinan mereka memerintahkan, “Menyebarlah kalian ke barat dan ke timur.
Carilah penghalang tersebut!” Lalu syetan-syetan (jin-jin) tersebut menyebar ke seluruh pelosok jagad mencari penyebab terhalangnya berita langit tersebut. Sebagian di antara mereka sampai ke daerah Tihamah tempat Rasulullah SAW dan para sahabat berhenti. Ketika itu Rasulullah SAW tengah melakukan shalat Subuh. Para jin tersebut mendengar dan memerhatikan dengan seksama bacaan Rasulullah SAW. Kemudian mereka berkata, “Demi Allah, pasti inilah yang menyebabkan kita terhalang dari berita langit.” Mereka sangat kagum terhadap ayat-ayat Alquran yang mereka dengar.
Mereka mengimaninya. Mereka lalu pulang ke kaumnya dan menyampaikan kejadian yang mereka alami. Kaum mereka pun menerima dan mengimani ajaran yang dibawa tersebut. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi turunnya Alquran surat Al-Jin ayat 1. Ayat ini menginfomasikan kepada Nabi Muhammad SAW tentang peristiwa alam gaib yang terjadi di sekeliling Rasulullah SAW dan para sahabat ketika itu. Rasulullah SAW kemudian menyampaikan pemberitahuan Allah SWT tersebut kepada para sahabat dan umat Islam. Dalam surat Al-Jin, Allah SWT memberikan informasi, “Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Alquran), lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman ke padanya.
Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak.” Sejarah Masjid Jin di MakkahKata jin secara kebahasaan mengandung makna ketertutupan atau ketersembunyian.
Para pakar memberikan bermacam-macam definisi tentang jin. Muhammad Farid Wajdi menyatakan jin adalah makhluk yang terbuat dari hawa atau api, berakal, tersembunyi, dapat membentuk diri dengan berbagai bentuk, dan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Sayyid Sabiq mendefinisikan jin dengan sejenis ruh yang berakal, berkehendak, mukallaf (dibebani tugas-tugas oleh Allah) sebagaimana manusia, tetapi mereka tidak berbentuk materi sebagaimana bentuk materi yang dimiliki manusia, yakni luput dari jangkauan indra atau tidak dapat terlihat sebagaimana keadaannya yang sebenarnya atau bentuknya yang sesungguhnya dan mereka mempunyai kemampuan untuk tampil dalam berbagai bentuk. Dalam Alquran ditemukan paling tidak lima kata yang digunakan untuk menunjuk makhluk jin, yaitu jin, jan, jinnat, iblis, dan syaithan. Kata iblis dimasukkan ke dalam kata-kata yang menunjukkan jin karena pada hakikatnya iblis tergolong jenis jin.
Kata syaithan termasuk juga yang menunjuk kepada makna jin karena syaitan itu terdiri dari jin dan manusia. Sedangkan kata khannas merupakan salah satu macam syaitan yang juga terdiri dari manusia dan jin. Jin tercipta dari bahan dasar berupa api, berkembang biak, dan membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Jin diciptakan oleh Allah berpasangan. Ada jin laki-laki atau jantan dan ada pula jin perempuan atau betina. Jin mempunyai keinginan dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual.
Oleh sebab itu, jin juga dapat melahirkan keturunan dan selanjutnya membentuk kelompok atau masyarakat jin. Jin mempunyai beberapa kemampuan yang di antaranya melebihi kemampuan yang dimiliki manusia. Misalnya, jin dapat menjelajahi ruang angkasa dan menyadap berita-berita langit. Jin juga mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan berat.
Di antara tentara dan pekerja Nabi Sulaiman, terdapat golongan jin dan syaitan yang bertugas melakukan beberapa jenis pekerjaan berat, seperti mendirikan bangunan, patung-patung, piring-piring besar, dan menyelami lautan. Pada dasarnya, jin tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat Al-A’raf: 27, “… sesungguhnya ia (syaitan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka…”
Para ulama memandang ayat ini sebagai dalil yang sangat kuat tentang tidak mungkinnya manusia melihat jin. Imam Syafi’i bahkan berkata, “Barangsiapa yang mengaku melihat jin, maka ditolak kesaksiannya, kecuali Nabi.” Rasyid Ridha juga menegaskan, “Barangsiapa yang mengaku melihat jin, maka itu hanya ilusi atau ia melihat binatang aneh yang diduganya jin.”
Ketidakmampuan manusia melihat jin dan kemampuan jin melihat manusia adalah karena berbedanya unsur kejadian manusia dan jin. Manusia adalah makhluk kasar, sedangkan jin adalah makhluk halus. Sesuatu yang halus dapat melihat yang kasar, tidak sebaliknya. Sementara itu ada pula ulama yang menyatakan kemungkinan jin dapat dilihat oleh manusia. Allah dapat saja memberikan kemampuan istimewa kepada orang tertentu, sehingga mampu melihat makhluk halus. Firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 27 di atas tidak menafikan kemampuan melihat jin secara mutlak. Ayat itu hanya mengatakan bahwa manusia tidak dapat melihat jin pada suatu tempat, atau suatu keadaan, atau suatu waktu ketika jin melihat manusia. Namun, selain itu tidak tertutup kemungkinan manusia dapat melihat jin. Ulama lain berpendapat bahwa jin hanya dapat dilihat oleh para nabi atau hanya pada masa kenabian. Ketika itu, Allah mengubah mereka menjadi makhluk kasar. Sekarang tidak bisa lagi.
Kedua pendapat yang terakhir menurut Quraish Shihab terkesan seperti dibuat-buat. Pendapat lain yang agaknya bisa diterima adalah bahwa jin dapat dilihat manusia jika jin berubah mengambil bentuk makhluk yang dapat dilihat manusia. Hal ini tidak terbatas bagi orang atau waktu tertentu, tetapi bisa terjadi pada siapa pun dan kapan- pun jika kondisi memungkinkan.
Dalam hal pembebanan tanggungjawab melaksanakan ajaran-ajaran agama, terdapat kesamaan antara manusia dan jin. Manusia dan jin sama-sama dibebani oleh Allah SWT dengan seperangkat perintah dan larangan yang terangkum dalam ajaran agama yang disampaikan oleh para rasul-Nya. Allah berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Pada surat Al-An’am ayat 130 Allah berfirman, “Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepada terhadap pertemuanmu dengan hari ini?”
Dalam menerima dan menjalankan ajaran agama tersebut, sebagaimana manusia, kalangan jin berbeda-beda sikap. Ada yang beriman, ada pula yang kafir. Ada yang taat, ada pula yang ingkar. Dalam surat Al-Jin ayat 11,13, dan 14 terdapat informasi dari kalangan jin sendiri tentang keadaan jin yang demikian. “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda. Dan sesung-guhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahannam.” Bangsa jin sebagaimana yang dijelaskan di ataslah yang bertemu dengan Rasulullah SAW di kampung Ma’la di dekat daerah Tihamah. Untuk mengabadikan peristiwa unik dan penting tersebut, dibangun sebuah masjid berukuran sedang yang dikenal dengan nama Masjid Jin.
Comments
Post a Comment
Dengan Nama Allah